Senin, 01 November 2010

Sekolahku Di Pedalaman

Sudah lima tahun aku belajar di sekolah “Budi Makmur” ini. Sekolahku berada di daerah pedalaman. Kondisi sekolahku sangat sederhana. Hanya ada tiga kelas. Dindingnya terbuat dari papan dan kulit kayu. Sementara atapnya terbuat dari daun sagu, atau sering disebut daun rumbia oleh suku pedalam. Meja dan tempat duduk kami terbuat dari papan yang dibuat memanjang. Papan tulis hitam berukuran 1x2 meter menggantung di depan kelasku. Se-kolahku hanya berlantaikan tanah. Kalau hujan turun, airnya akan masuk ke dalam kelasku hingga menjadi becek.

Sekarang aku sudah kelas enam. Hanya ada empat orang murid di kelasku. Sedangkan guru yang mengajar di sekolahku hanya ada dua orang. Pak Nantan dan Pak Kurna, mengajar dari kelas satu sampai kelas enam.

Dalam belajar, kami dan guru senang membaur. Seperti mengerjakan latihan misalnya, kami sering mengerjakan dan memecahkannya bersama-sama, dan tidak malu-malu bertanya kalau tidak paham. Kami dan guru terlihat sangat akrab sekali!

Pulang sekolah hari ini aku dibonceng Pak Nantan naik sepeda ontel. Sedangkan Rizal, temanku, ikut dengan Pak Kurna. Kami sering dibonceng seperti ini karena rumah kami berdua paling jauh. Jarak rumah ke sekolahku empat kilo meter. Jam enam pagi aku sudah harus berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki melewati jalan setapak dan hutan belantara.

“Pak Nantan hari ini mancing ke sungai lagi? Boleh Ujang ikut?” tanyaku.

“Bapak hari ini memetik buah kelapa di kebun, Jang. Uang belanja sudah menipis. Besok kalau kelapa-kelapa itu sudah terjual, Bapak pasti akan ajak Ujang mancing di sungai!” janji Pak Nantan.
Aku sedih mendengarnya. Sudah lelah mengajar di sekolah, Pak Nantan harus memanjat kelapa lagi sesampainya di rumah. Kalau tidak, keluarganya tidak bisa makan. Karena dengan menjual buah-buah kelapa itulah Pak Nantan bisa mendapatkan uang untuk mencukupi kebutuhan keluarganya.
Pak Nantan tak menerima gaji mengajar di sekolah, karena Pak Nantan hanya tamat SMP. Tapi niat baiknya ingin memajukan kampungku supaya bebas buta huruf dan pandai berhitung memang patut diacungi jempol.

Setahun yang lalu ada dua orang guru bantu yang dipindahtugaskan dari kota ke kampungku. Betapa gembiranya aku waktu itu. Aku berharap kehadiaran mereka bisa memberikan kemajuan bagi sekolahku. Namun harapanku itu kemudian pupus. Sebulan mengajar, mereka hanya empat kali datang ke sekolahku. Bulan berikutnya, mereka tak pernah datang-datang lagi ke sekolah. Ah, mungkin mereka tak terbiasa dengan keadaan kampungku yang terpelosok jauh berada di pedalaman.

Suatu hari Pak Nantan pernah bertanya kepadaku tentang cita-citaku. “Apa cita-citamu, Jang?”

“Aku ingin jadi seperti Bapak!” jawabku mantap.

“Menjadi guru?” Pak Nantan ter-senyum.

Aku mengangguk, “Aku ingin membuat kampung ini menjadi maju. Aku ingin semua orang bisa membaca dan berhitung. Kalau orang-orang di kampung ini sudah bisa membaca dan berhitung, pasti mereka bisa membangun kampung ini mejadi lebih maju!”

Mata Pak Nantan tampak berkaca-kaca mendengar penuturanku. “Pendidikan di kampung ini memang sangat menyedihkan. Tak ada guru-guru yang mau mengajar di kampung ini. Apalagi kebanyakan anak-anak seusiamu lebih memilih bekerja di ladang membatu orang tua mereka dari pada pergi ke sekolah.”

Air mataku menetes. Aku sedih sekali. Di rumah, seharusnya Abah dan Emak bisa membimbingku belajar dan mengerjakan PR. Tapi mana mungkin. Kedua orang tuaku tidak pandai membaca dan menulis. Malah suatu ketika Abah dan Emak memintaku untuk mengajari mereka membaca, menulis dan berhitung. Wah… Bagaimana mungkin? Apa aku bisa? Ah, tapi akhirnya kucoba juga. Setiap hari setelah pulang sekolah, aku pun mengajari orang tuaku membaca, menulis dan berhitung.

“Abah bangga padamu, Jang. Anak sekecil kamu sudah pandai mengajari Abah dan Emakmu membaca, menulis dan berhitung,” ujar Abah memujiku.

“Emak juga bangga, Jang. Berkat kamu sekolah, Emak dan Abahmu jadi tak bodoh lagi. Emak dan Abahmu sekarang sudah bisa membaca walaupun masih mengeja,” kata Emak lalu mencium kepalaku.

“Terima kasih,” ucapku terharu. “Ini juga berkat Abah dan Emak yang mau menyekolahkanku hingga aku menjadi pintar dan bisa mengajari Abah dan Emak di rumah, hehe…”
Abah dan Emak memelukku, dan menciumi kedua pipiku dengan penuh rasa sayang dan cinta.
Ah, kelak, aku harus bisa membangun kampung ini menjadi lebih maju! Aku ingin semua orang di kampung ini bisa membaca, menulis dan berhitung. Doakan aku, ya, teman-teman!
 CERPEN
 Ayah dan Ibu sedang berkumpul di ruang tengah bersama dengan Paman Ali dan Bibi Fathimah. Kemarin pagi mereka baru datang dari Jakarta untuk berlibur. Sementara Faris, putera paman dan bibi, sedang asyik bermain bongkar pasang balok di lantai.
“Faris kok bermain sendiri. Mas Hasan di mana?” tanya paman Ali kepada Faris yang sedang asyik bermain. “Di kamar, Yah. Tadi Faris ngajak mas main bareng, tapi mas nggak mau,” jawab Faris.
Ayah Ibu langsung berpandangan, lalu tersenyum. Mereka sudah tahu kenapa Hasan tidak mau bermain dengan Faris. Apalagi kalau bukan karena dia tidak mau merelakan barang-barang mainannya dipakai juga oleh Faris....
Dan memang benar, di dalam kamar Hasan tampak sedang duduk termenung dengan wajah cemberut. Sejak Faris datang bersama kedua orang tuanya, dia jadi senang mengurung seorang diri.
“Hasan lagi ngapain?” Tiba-tiba ayah sudah berdiri di pintu kamar Hasan yang terbuka. “Kenapa tidak keluar, bermain-main dengan Dik Faris?”
“Hasan nggak suka sama Dik Faris. Mainan bongkar pasang balok punya Hasan dipakai sama dia,” jawab Hasan bersungut-sungut.
“Kan dipinjam. Nanti juga dikembalikan. Lagian mainan Hasan yang lainnya masih banyak.” bujuk ayah.
Hasan segera berdiri. Dia benar-benar kesal. “Kenapa sih, Dik Faris tidak bawa mainan sendiri. Jadinya kan tidak usah pakai mainan punya Hasan. Nanti rusak!”
Melihat sikap Hasan yang sewot begitu, ayah mendekatinya sambil berkata pelan: “Ya, sudah. Nanti Hasan tanya sendiri ke Dik Faris. Kebetulan dia sedang main di depan TV. Yuk, kita temui dia,” ajak ayah.
“Nggak mau!” jawab Hasan ketus.
“Baiklah kalau sekarang nggak mau,” kata ayah sambil duduk di tempat tidur. “Tapi besok pagi Hasan jangan sewot begini, ya. Apalagi sama Dik Faris. Dia nggak bermaksud merusak mainan Hasan kok.” Hasan tetap manyun. “Bagaimana kalau suatu saat nanti Hasan yang berkunjung ke tempat Dik Faris? Kan juga bakal pinjam mainan Dik Faris,” tanya ayah kemudian.
“Nggak,” jawab Hasan cepat. “Hasan mau bawa mainan sendiri.”
“Tentu merepotkan. Kita harus bawa persediaan baju, obat-obatan, dan oleh-oleh. Bawa mainan itu butuh tempat tersendiri. Terus nanti dibawa pulang lagi. Bisa-bisa malah rusak di jalan. Sayang kan?” jelas ayah. “Hasan mau mainannya rusak?” tanya ayah. Hasan menggeleng. “Begitu juga dengan Dik Faris. Jadi, untuk sementara pinjam kan nggak apa-apa.”
“Tapi kalau Dik Faris bikin rusak mainan Hasan?” tanya Hasan tiba-tiba.
“Kalau Hasan sudah berbuat baik, mau meminjamkan mainan apalagi mau menemani main bersama, masak Dik Faris akan berbuat jahat, merusak mainan punya Hasan. Tentu tidak, kan?"
Hasan terdiam, tangannya asyik bermain dengan ujung selimut. “Hasan anak baik. Pasti mau dong berbagi dengan Dik Faris. Cuma meminjamkan aja kok. Dik Faris nggak bakalan merampasnya. Kalau Dik Faris mau balik ke jakarta, nanti juga dikembalikan.”
Perlahan ayah berdiri, sambil bertanya, "Nah, sekarang, Hasan mau ikut berkumpul di ruang tengah atau mau tetap di kamar?”
“Hasan mau tidur,” jawab Hasan singkat.
Pagi harinya, Hasan melihat Faris sedang asyik dengan mainan bongkar pasang baloknya. Dengan tekun balok-balok itu disusunnya menjadi seperti gedung bertingkat.
Tapi kemudian, gedung balok yang sudah sempurna itu dibongkarnya kembali. Dia termenung menatap balok-balok yang berserakan. Sepertinya, Faris tidak tahu balok-balok itu harus disusun menjadi apa lagi. Dia mulai bosan. Tapi dia sama sekali tidak membanting-banting atau melempar-lemparkan balok-balok itu, sehingga nantinya akan rusak.
“Mas Hasan punya mainan yang lain nggak?” tanya Faris ketika Hasan berjalan mendekat. Hasan tidak langsung menjawab. Kasihan juga Faris, sejak kemarin dia hanya bermain dengan mainan itu. Karena Hasan memang sengaja menyembunyikan seluruh barang-barang mainannya, agar tidak dipinjam sama Faris.
“Tapi, dik Faris cuma pinjam ya. Nanti harus dikembalikan dan nggak boleh rusak,” kata Hasan mengingatkan.
“Iya. Faris janji.”
“Ayo ikut mas ke gudang, Di sana masih ada banyak mainan,” ajak Hasan sambil menarik tangan Faris.
“Kita mau main apa, Mas,” tanya Faris.
“Kita main perang-perangan aja, ya. Pasti seru!” jawab Hasan. Wajahnya sekarang terlihat bahagia, tidak cemberut lagi.
Tak berapa lama, di halaman belakang, Hasan dan Faris tampak sedang asyik main perang-perangan. Hasan memegang pistol-pistolan dengan topi koboinya. Sementara Faris, tangan kanannya menggenggam sebilah pedang-pedangan dengan perisai di tangan kirinya. “Dor…dor…dor..,” teriak Hasan. “Ciat…ciat…ciat!” teriak Faris. Menyenangkan sekali bukan? Coba kalau Hasan tidak mau berbagi meminjamkan mainanannya ke Faris. Tentu dia hanya bisa cemberut dan tidak sebahagia sekarang.